الدعوة السلفية : موقع أبو سلمي الأثري

Monday, September 25, 2006

Sikap moderat Ahli Sunnah wal Jama’ah terlihat jelas dalam berbagai hal, baik dalam masalah aqidah, hukum, perilaku, akhlak, maupun masalah-masalah lainnya.

Kaum Muslimin yang berbahagia, tamu yang agung telah datang mengunjungi kita, dia datang hanya sekali dalam setahun, dia senantiasa ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba-Nya yang mukmin, yang kedatangannya akan menenangkan jiwa-jiwa manusia, yang kedatangannya akan membawa berkah dari Rabb semesta alam, dan kedatangannya penuh dengan kemuliaan dan keutamaan. Anda semua telah mengenalnya wahai kaum muslimin yang berbahagia, dia tiada lain dan tiada bukan adalah bulan Ramadhan. Dialah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, bulan yang syaithan-syaithan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan pintu-pintu surga dibuka, serta dialah bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qodar, yang apabila seorang hamba beribadah di malam itu lebih baik dari seribu bulan. Segala puji bagi Alloh yang telah mengizinkan kita semua bersua dengan bulan ini. Wahai kaum muslimin, marilah kita jadikan bulan ramadhan kita ini sebagai bulan terakhir kita, seakan-akan kita tidak akan menjumpainya lagi tahun depan. Marilah kita isi bulan ini dengan amalan-amalan yang berguna, karena Nabi yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam telah bersabda :

Pertanyaan 1 : Puasa ramadhan diwajibkan atas siapa saja? Dan apa keutamaan puasa ramadhan dengan puasa tathowwu`? Jawab: Puasa ramadhan diwajibkan atas setiap Muslim yang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. Puasa ini dianjurkan kepada anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih, juga dianjurkan kepada setiap anak laki-laki atau perempuan yang mampu mengerjakannya. Sedangkan para orang tua, mereka diwajibkan menyuruh putera-puteri mereka untuk mengerjakan puasa jika mereka mampu, sebagaimana mereka diperintahkan menyuruh putera-puteri mereka untuk mengerjakan shalat. Dasar hal ini adalah firman Allah yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 183-184)

Thursday, September 21, 2006

Diantara mereka adalah, seorang fanatikus yang bernama Abu Dzulqornain Abdul Ghofur al-Malanji, menyusun sebuah artikel yang berjudul “Ulama berbaris tolak Jum’iyah Ihya’ut Turots” yang mana dia menukil dari buku Malhudlot wa Tanbihat ‘ala Fatawa Fadhilatus Syaikh Abdullah al-Jibrin karya Tsaqil bin Shalfiq azh-Zhufairi. Padahal nukilan itu menyebutkan deretan ulama yang mengkritik Abdurrahman Abdul Khaliq hadahullahu. Komentar saya : Abdul Ghafur al-Malanji telah melakukan talbis dan licik di dalam menggiring opini publik umat, dimana ia mengopinikan ulama yang mengkritik Abdurrahman Abdul Khaliq otomatis juga turut mentahdzir Jum’iyah Ihya’ut Turots. Liciknya lagi, setelah itu dia menyandarkan secara serampangan dan penuh kedustaan bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq sebagai “big-boss” para du’at salafiyin yang bekerja sama dengan Ihya’ut Turots Kuwait. Demikianlah karakter dan sikap Abdul Ghafur ini, dia berani melakukan suatu kedustaan dan kelicikan untuk memenuhi ambisinya agar dapat menembakkan tuduhan-tuduhan dan celaan-celaan kejinya. Saya katakan kepada Abdul Ghafur : Ya Abdal Ghafur, dari ke-23 nama ulama yang antum sebutkan, apakah mereka semua turut mentahdzir IT (Ihya’ut Turats), mengharamkan bekerja sama dengan IT dan mengharuskan untuk mentahdzir siapa saja yang berta’awun dengan IT?!! Jika antum katakan iya, maka ini jelas menunjukkan antum ini jahil dan telah melakukan kedustaan atas nama mereka. Jika antum katakan tidak, maka antum juga telah berdusta atas nama mereka dan melakukan suatu tindakan talbis kepada umat. Dan jika antum katakan tidak tahu, maka sungguh ini adalah musibah, bagaimana bisa seorang ahlus sunnah berkata tanpa ilmu?!! Haihata haihata…!!!

Fadhilatus Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullahu berkata di dalam pengajian beliau, Syarh Arba’in Nawawiyah tentang masalah tabdi’ dan hajr sebagai berikut : فلذلك ينبغى لطلاب العلم أن يفهموا هذه القضية ، بعض طلاب العلم ، إذا أخطأ أخوه أو زميله ووقع فى شىء ربما كان متأولاً أو ناسياً أو جاهلاً قال له : أنا سأهجرك .. أنت كرابيسى .. أنت كرابيسى .. لا اسلم عليك .. لماذا تمشى مع فلان ؟ ولماذا تمشى مع علان ؟ ! وقد وجدنا هذا من صغار الطلبة وللأسف .. الذين يهرفون بما لايعرفون ، وهذا خطأ ! ”Maka oleh karena itulah sepatutnya bagi para penuntut ilmu untuk memahami permasalahan ini. Sebagian penuntut ilmu, apabila saudaranya atau temannya bersalah dan terjatuh kepada sesuatu yang seringkali disebabkan oleh ta’wil, lupa ataupun tidak tahu, maka dia berkata kepadanya : ”aku akan menghajrmu... kamu karabisi... kamu karabisi... aku tidak akan mengucapkan salam padamu... kenapa kamu jalan dengan Fulan? Kenapa kamu jalan bersama ’Alan?!” Dan kami dapatkan fenomena ini dari para penuntut ilmu pemula, dan sayangnya... mereka ini mentahrif (merubah) dengan apa yang tidak mereka ketahui. Ini adalah suatu kesalahan!

Berkata asy-Syaikh al-’Allamah al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullahu ketika ditanya tentang kriteria di dalam menghajr : الحمد لله رب العالمين وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله أما بعد: ”Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara alam semesta, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beliau dan para sahabatnya seluruhya. Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq selain Alloh semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma Ba’du : فالهجر : هجر المسلم يعتبر من الكبائر والرسول صلى الله عليه وسلم يقول : ( لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث ) نعم ويقول أيضاً :( إن الله سبحانه وتعالى يغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن فيقول انظروا هذين حتى يصطلحا ) فهجر المسلم يعتبر من الكبائر ، Hajr (dalam artian) menghajr seorang muslim itu termasuk dosa besar, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث ”Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari.” Dan sabda beliau pula : إن الله سبحانه وتعالى يغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن فيقول انظروا هذين حتى يصطلحا ”Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengampuni seluruh hamba-Nya kecuali orang yang musyrik dan orang yang bertikai. Lantas beliau berkata : perhatikanlah dua perkara ini sampai keduanya terbebas” Maka menghajr seorang muslim itu termasuk dosa besar.

Al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Ubaikan hafizhahullahu berkata di dalam mendefinisikan Ghuluw : الغلو: المبالغة في الشيء، ورفعه فوق منزلته، وإعطائه فوق ما يستحقّه، يقال: غلا السعر أي ارتفع ثمن الطعام -أو غيره- فوق عادته، ولذلك قول عمر رَضِيَ اللهُ عنْهُ: يا أيها الناس لا تغالوا في صدقات النساء، فلوا كان ذلك خير لسبقنا إليه رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. “Ghuluw artinya adalah “berlebih-lebihan terhadap sesuatu dan mengangkatnya melebihi kedudukannya serta memberi melebihi dari yang berhak diperolehnya”. Dikatakan, “harganya berlebihan/mahal (ghola)” maksudnya yaitu harga makanan –atau selainnya- tinggi/naik melebihi biasanya.” Demikian pula ucapan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu : يا أيها الناس لا تغالوا في صدقات النساء، فلوا كان ذلك خير لسبقنا إليه رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Wahai manusia, janganlah kalian berlebihan/menaikkah harga (taghooluu) di dalam mas kawin wanita, sekiranya hal ini baik niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pasti akan mendahului kita.”

Syaikhuna Salim bin Ied al-Hilaly hafizhahullahu membatalkan taqsim (pemilah-milahan) seperti ini di dalam ucapannya pada saat penutupan Dauroh di Masjid Al-Irsyad Surabaya tahun 2001 silam, beliau berkata : « ... فإنّ من ثبت سلفيته أخٌ لنا سواء كان في مشرق الأرض أو في مغربها... أما تفريق الدعوة السلفية بأنّ هذه سلفيةٌ شاميةٌ أو سلفيةٌ حجازيةٌ أو سلفيةٌ مغربيةٌ أو سلفيةٌ يمنيةٌ فإن نبرأ إلى ذلك فإنّ سلفية واحدة, مات ائمتُنا وهم متّفقون عليها, مات الألباني وهو محبّ لإبن باز ومات إبن باز وهو محبّ للألباني ومات إبن عثيمن وهو محبّ لهما ومات درّة اليمن الشيخ مقبل وهو محبّ للجميع... » “Karena sesungguhnya, barangsiapa yang telah tetap kesalafiyahannya maka dia adalah saudara kita, sama saja baik dia berada dari bagian barat bumi ataupun timurnya… Adapun memilah-milah dakwah salafiyah menjadi salafiyah Syamiyah atau Salafiyah Hijaziyah atau Salafiyah Maghribiyah atau Salafiyah Yamaniyah, maka kami berlepas diri dari pemilah-milahan ini, karena salafiyah itu satu!!! Telah wafat para imam kita dan mereka semua bersepakat di atasnya, telah wafat al-Albani dan beliau mencintai Ibnu Baz, telah wafat Ibnu Baz dan beliau mencintai al-Albani, telah wafat pula Ibnu ‘Utsaimin dan beliau mencintai keduanya, serta telah wafat permata negeri Yaman, Syaikh Muqbil dan beliau mencintai seluruhnya…”

Wednesday, September 13, 2006

Ada Apa dengan Syaikh Ali Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari –hafizhahumallahu- Diantara sekian banyak para masyayikh dakwah Salafiyah yang tidak selamat dari tuduhan Murji'ah yang dilontarkan oleh para harokiyyin, sururiyin dan takfiriyin adalah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Ambari -hafidzahumallohu-. Dan yang amat disayangkan adalah adanya fatwa Lajnah Daimah yang juga ikut serta mendukung orang-orang tersebut dengan menuduh bahwa di dalam beberapa kitab kedua Syaikh tersebut terdapat pemikiran Murji'ah. Padahal kalau ditilik kembali kitab-kitab mereka tersebut sangat jauh dari pemikiran Murji'ah. Mereka adalah masyayikh Ahlu Sunnah yang jauh dari pemikiran Murji'ah, aqidah mereka aqidah Salaf Ashabul Hadits khususnya yang berkaitan dengan masalah iman. Oleh karenanya Syaikh Ali bin Hasan dan Syaikh Kholid menulis jawaban terhadap fatwa Lajnah Daimah tersebut. Mereka berdua meminta kepada Lajnah Daimah untuk membuktikan dengan jelas mana pemikiran Murji’ah yang terdapat dalam kitab mereka.